• Web
  • psikucluk
  • AddThis

    Share |

    Kamis, 18 Februari 2010

    Jalan Menuju Cinta Allah yang Penuh Dengan Tantangan

    Seringnya manusia melakukan sesuatu tanpa berpikir lebih jauh apakah yang dia lakukan itu baik atau tidak. Banyak sekali manusia yang terjebak dalam kebenaran dimata manusia tanpa melihat kebenaran dalam kaca mata hukum agama. Karena menurut khalayak banyak orang lebih mudah menjalankan hukum adat daripada huku agama. Hukum adat berdasarkan kaca mata manusia.

    Semua perbuatan manusia itu bersumber pada keinginan yang ada pada mereke, jika mereke ingin maka mereka lakukan tanpa melihat apakah memiliki dampak yang baik bagi dirinya dan orang lain. Semua keinginan itu bersumber pada hawa nafsu manusia.

    Problema yang muncul sekarang ini adalah banyak orang yang tidak memahami tentang hawa nafsu. Sehingga banyak yang terjerumus dalam hal-hal yang menyangkut hawa nafsu. Di sisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan dosa dari akibat hawa nafsu.

    Untuk menghindari hawa nafsu kita harus lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan seperti; sholat, zikir, puasa, dan segala macam yang dapat menghindarkan kita dari keburukan hawa nafsu.

    Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang bagaimana itu hawa nafsu, sasaran dan akibatnya. Oleh karena itu, Allah sangat melarang manusia untuk mengikuti hawa nafsu yang buruk dan menganjurkan kita untuk bertaubat apabila sudah terjerumus dalam kemaksiatan.

    Apa sebenarnya hawa nafsu itu? Apakah hawa nafsu menjadi  pengukur manusia layak menerima surga atau neraka? Apakah ada nafsu yang mendorong manusia untuk selelu melakukan kebaikan atau keburukan dalam bertingkah laku?

    Dalam makalah yang akan kami beri judul “Jalan Menuju Cinta Allah yang Penuh Dengan Tantangan” akan dibahas semua hal yang berkaitan dengan tantangan menuju cinta-Nya.
     

    Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, bahwa kecintaan kita kepada Allah Swt harus diprioritaskan, harus diutamakan dibandingkan cinta kita kepada diri kita sendiri, bahkan harus diutamakan daripada cinta kita kepada makhluk.

    Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa kebutuhan dirinya harus lebih diutamakan daripada kebutuhan orang lain. Kemudian Allah meminta kita agar cinta kita kepada-Nya itu lebih hebat dibandingkan cinta kita kepada diri kita sendiri. Atau kita harus mengutamakan cinta kita kepada Allah daripada cinta kita kepada diri sendiri.

    Melakukan upaya ini bukanlah hal yang mudah. Menurut Ibnu Qayyim, cinta seseorang kepada Allah itu akan terganjal karena 3 (tiga) hal:

    1) Kalau seseorang memperturutkan hawa nafsunya.

    2) Kalau seseorang memperturutkan hawa nafsu orang lain.

    3) Kalau seseorang memperturutkan bisikan-bisikan syaithan.

    Sebenarnya apa itu hawa nafsu? Begitu besarkah pengaruhnya dalam kehidupan kita sehingga nafsu menjadi salah satu jalan menuju sesuatu yang diridhoi-Nya atau tidak. Karena hal ini yang akan menjedikan kita menuju nikmat-Nya atau menuju adzab-Nya yang begitu pedih. Tidak dipungkiri lagi bahwa setiap manusia akan merasakan yang anamanya neraka sebelum dia merasakan nikmatnya surga, hal ini hanya teruntuk bagi mereka yang memeluk agama islam.

    1.       Pengertian Hawa Nafsu

    Dalam menjelaskan pengertian tentang Hawa Nafsu banyak sekali pendapat yang dikeluarkan dari para Ulama mengenai hal ini. Berbagai pendapat dikeluarkan dari berbagai aspek. Salah satunya dari sudut pandang Ahli Tasawwuf. Nafsu secara bahasa artinya jiwa. Dalam istilah ilmu tasawwuf akhlaq, nafsu adalah dorongan-dorongan alamiah manusia yang mendorong pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ada yang mengartikan hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa kepada perkara yang haram. Dinamakan hawa karena menyeret pelakunya di dunia kepada kehancuran dan di akhirat kepada neraka Hawiyah.

    Dan ada pula yang mengartikan bahwa Hawa Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tidak ada keselerasan terhadap kebutuhan biologisnya, niscaya tidak akan tergerak untuk memenuhi kebutuhan biologis tersebut. Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya.

    Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat (bahaya) yang ditimbulkannya.

    Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat dia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

    2.       Pembagian Hawa Nafsu

    Kalau hawa nafsu dimiliki oleh setiap orang, kemudian syahwat itu dimiliki oleh setiap orang juga, maka hawa nafsu dan syahwat itu terbagi atas 2 (dua), yaitu: hawa nafsu yang mengarah kepada kebaikan, dan hawa nafsu yang mengarah kepada kejahatan. Jadi hawa nafsu itu tidak langsung kita vonis bahwa dia negatif. Seseorang yang ingin melakukan suatu pekerjaan apa saja, hal itu karena didorong oleh hawa nafsu. Orang mau berbuat baik karena hawa nafsu. Orang mau berbuat jahat karena hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu terdiri atas yang baik dan yang buruk, maka hawa nafsu terbagi atas dua.

    Pembagian nafsu secara garis besar, ada dua: Pertama, terdiri dari delapan tingkatan yang ditempuh oleh diri atau nafsu manusia:

    1)     Nafsu ammarah: nafsu yang selalu mendorong untuk berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang, sehingga tidak mampu membedakan mana yang benar mana yang salah.

    2)     Nafsu lawwamah: nafsu yang sudah punya kesadaran, sehingga seseorang yang (terlanjur) berbuat salah atau tercela, akan tersadar, lalu menyesali diri atau merasa berdosa. Nafsu ini berdiri di simpang jalan antara ammarah dan muthmainnah.

    3)     Nafsu Muthmainnah: nafsu yang telah didominasi dan dikuasai oleh iman, sehingga mampu dan terampil memilah yang haq dari yang batil, di mana yang terakhir ini akan terpental dengan sendirinya. Di segala situasi, baik dalam duka derita maupun dalam suka cita, nafsu ini tetap dingin dan tenang. Atau dengan bahasa Buya Hamka, dia punya dua sayap: sayap sabar (di cuaca kelam dan kesulitan) dan sayap syukur (di saat jaya dan makmur). Di sini perlunya iman dan zikir.

    4)     Nafsu mulhamah: unsur jiwa yang menerima ilham dari Tuhan, misalnya berbentuk ilmu pengetahuan.

    5)     Nafsu musawwalah: nafsu yang bebas melakukan apa yang dikehendakinya tanpa peduli nilai aktivitasnya itu, kendatipun sudah mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil.

    6)     Nafsu radhiyah: unsur jiwa yang menginsafi apa yang diterimanya dan menyatakan rasa syukur dalam menerima ridha Allah.

    7)     Nafsu mardhiyah: nafsu yang senantiasa pasrah akan ridha Allah.

    8)     Nafsu kamilah: unsur jiwa yang telah memiliki kesempurnaan, baik kulit maupun isi, lahir atau batin, luar dan dalam.

    Kedua, berupa sepuluh rupa nafsu (jiwa atau sifat tercela) yang mendekam dalam diri manusia, sehingga sekuat mungkin harus dijinakkan dan (kalau perlu) digilas.

    1)     Nafsu kalbiyah: Sifat anjing, yang perwujudannya antara lain suka memonopoli sendiri.

    2)     Nafsu himariyah: jiwa keledai, yang pandai memikul namun tidak mengerti secuil pun apa yang dipikulnya. Dengan kata lain, ia tak memahami masalah.

    3)     Nafsu sabu'iyah: jiwa serigala (suka-suka menyakiti atau menganiaya orang lain dengan cara apa pun).

    4)     Nafsu fa'riyah: nyali tikus, sebangsa merusak, menilep, atau semacamnya.

    5)     Nafsu dzatis-suhumi wa hamati wal-hayati wal-aqrabi, yaitu jiwa binatang penyengat berbisa sebagai ular dan kalajengking. (Senang menyindir-nyindir orang, menyakiti hati orang, dengki, dendam, dan semacamnya).

    6)     Nafsu khinziriyah: sifat babi, yakni suka kepada yang kotor,busuk, apek, dan yang menjijikkan.

    7)     Nafsu thusiyah: nafsu merak, antara lain suka menyombongkan diri, sok aksi, berlagak-lagu, busung dada, dan sebagainya.

    8)     Nafsu jamaliyah: nafsu unta (tak punya rasa santun, kasih sayang, tenggang rasa sosial, tak peduli kesusahan orang, yang penting dirinya selamat dan untung).

    9)     Nafsu dubbiyah: jiwa beruang. Biarpun kuat dan gagah, tapi sontok akal alias dungu.

    10) Nafsu qirdiyah: jiwa beruk alias munyuk atau monyet (diberi ia mengejek, tak dikasih ia mencibir, sinis, dan suka melecehkan/memandang enteng).

    Menurut DR. Jalaluddin Rakhmat ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak terperosok oleh hawa nafsu yaitu antara lain:

    a.      Bersikap ikhlas dan bening hati setiap memulai dan mengerjakan sesuatu

    b.      Berupaya menjauhkan diri dari setiap sarana dan sumber pemicu kemaksiatan

    c.      Berupaya menyeleksi teman, lingkungan, dan sumber informasi

    d.     Senangtiasa mengevaluasi diri atau bermuhasabah

    e.      Membiasakan diri berzikir mengingat Allah dan meningkatkan ibadah

    f.       Mempertimbangkan akibat-akibat kerugian yang ditimbulkan karena memperturutkan nafsu

    g.      Harus meyakini bahwa kehormatan diri jauh lebih penting daripada kenikmatan sesaat karena mengikuti hawa nafsu.

    h.      Menentang hawa nafsu akan memperoleh kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat.

    Demikianlah beberapa hal yang harus direnungkan agar kita dapat mengendalikan hawa nafsu, karena sesungguhnya nafsu itu pada dasarnya bersifat netral, dan merupakan anugrah dari Allah SWT, jika kita bisa mengatur dan mengelolahnya. Nafsu akan membawa kebaikan jika kita arahkan kepada hal-hal yang positif, sebaliknya nafsu juga akan menjadi bumerang bagi kita, jika tidak mampu memanfaatkan dan mengendalikannya.

    3.       Cara Mengontrol Hawa Nafsu

    Bagaimana seseorang bisa menekan hawa nafsunya agar dia terlepas dari itu? Imam Ibnu Qayyim mengemukakan, bahwa ada 7 (tujuh) cara untuk hal tersebut:

    Pertama, kita harus menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah Swt bukan untuk menuruti hawa nafsu (dalam arti negatif), melainkan kita diciptakan oleh Allah Swt adalah untuk beribadah kepada-Nya.

    Kedua, kita meyakini bahwa hawa nafsu negatif itu membawa dampak negatif. Dampak negatif itu akan menurunkan derajat kita sebagai manusia yang dimuliakan oleh Allah Swt. Kita menyadarkan diri kita, bahwa hawa nafsu yang negatif itu akan mengantarkan kita kepada dampak yang negatif, yang pada akhirnya akan menurunkan derajat kita yang mulia di mata Allah Swt.

    Ketiga, kita harus sadar, bahwa hawa nafsu itu akan menghancurkan niat luhur seseorang. Maksudnya, bahwa seseorang yang mengikuti hawa nafsunya, akibatnya adalah segala cita-cita luhur orang tersebut akan menjadi hancur.

    Keempat, akibat dari mengikuti hawa nafsu itu akan menimbulkan akibat-akibat yang fatal bagi seseorang. Jadi, menuruti hawa nafsu akan mengakibatkan lahirnya akibat-akibat yang fatal bagi seseorang. Mungkin dalam kondisi tertentu dia tidak merasakan akibat fatal itu. Tetapi pada saat tertentu dia merasakan bagaimana dampak dari mengikuti hawa nafsunya.

    Kelima, seseorang yang menuruti hawa nafsunya pada hakikatnya dia menghilangkan kenikmatan-kenikmatan yang menenangkan dirinya. .

    Keenam, menuruti hawa nafsu adalah sebuah kekalahan. Karena itu harus kita sadari, bahwa kita harus berada pada pihak yang benar. Ketika kita menginginkan pada pihak yang benar, maka kita harus mendorong hawa nafsu kita berada pada posisi yang benar pula.

    Ketujuh, seseorang yang menentang hawa nafsu itu mendapatkan banyak keuntungan. Tidak hanya keuntungan di dunia, tetapi juga keuntungan di akhirat.

    Mudahkah kita melakukan yang tujuh itu? Sungguh sangat sulit. Tetapi kita harus berusaha untuk melakukan hal tersebut, walaupun usaha itu selalu berhadapan dengan hawa nafsu yang selalu diliputi oleh syaithan yang ada pada diri kita.

    Upaya pertama, yang harus kita lakukan untuk mendapatkan cinta Allah adalah bahwa kita harus berupaya untuk lebih mencintai Allah dengan cara menekan hawa nafsu kita. Yaitu dengan cara mengendalikan hawa nafsu yang negatif ke arah hawa nafsu yang baik dan positif.

    Upaya kedua, yaitu menentang dan menjaga agar kita tidak tergoda oleh hawa nafsu dari orang lain. Yang kita cintai di dunia ini begitu banyak. Seseorang boleh jadi sangat cinta kepada ibu dan ayahnya. Ketika dia berumah tangga, bertambahlah cintanya kepada suami atau istri. Dan kecintaannya kepada ayah dan ibunya juga tidak akan hilang, walaupun sudah bertambah cintanya kepada istri atau suami. Setelah memiliki anak, maka bertambahlah kecintaan itu kepada anak. Belum lagi kecintaan kepada benda-benda dunia, harta, jabatan, dan sebagainya. Yang kesemuanya itu diakui atau tidak akan semakin menjauhkan kecintaan kita kepada Allah Swt.

    Upaya ketiga, kita harus menentang bisikan dan ajakan syaithan yang mendorong kita untuk berbuat kejahatan. Yang ketiga ini juga begitu sulitnya, karena syaithan itu tidak berwujud. Karena tidak berwujud, maka hampir kita tidak bisa membedakan yang mana yang bisikan syaithan dan yang mana yang bukan bisakan syaithan. Kalau seseorang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga dia sanggup membedakan mana perbuatan baik dan mana yang perbuatan buruk, maka boleh jadi yang baik itu dipandangnya buruk semua dan yang buruk itu dipandangnya baik semua. Karena itu di dalam agama kita selalu diminta untuk mencari ilmu kapan saja dan di mana saja. Karena itu, untuk mengetahui bahwa ini adalah ajakan syaithan atau bukan, yang pertama adalah bahwa syaithan itu selalu mengajak kita kepada hal-hal yang negatif. Yang bisa membedakan yang negatif dan yang tidak adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang hal yang baik dan tentang hal yang buruk. Ciri khas syaithan ialah bahwa syaithan itu selalu mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik.

    Ibnu Abbas menjelaskan dalam haditsnya bahwa Surga itu mempunyai delapan pintu yang terbuat dari emas dan berteteskan permata. Diantara delapan pintu surga itu terdapat salah satu pintu bagi mereka yang menahan atau memutuskan nafsunya dari syahwat.

    Disebutkan dalam Shahihain bahwasanya Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Surga itu dikelilingi dgn hal-hal yg dibenci dan neraka itu dikelilingi dgn berbagai syahwat.” Dalam sebuah hadits marfu’ dari Abu Hurairah diriwayatkan “Ketika Allah menciptakan surga Ia mengutus Jibril ke sana. Allah berfirman “Lihatlah ke sana dan lihatlah apa-apa yg Aku sediakan utk para penghuninya.” Lalu Jibril mendatangi dan melihatnya juga melihat apa yg disediakan Allah utk para penghuninya lalu ia berkata “Demi kemuliaan dan keagunganMu tidaklah salah seorang dari hambaMu mendengar tentang beritanya kecuali memasukinya.” Kemudian Allah memerintahkannya sehingga ia dikelilingi dgn hal-hal yg dibenci lalu Allah berfirman kepada Jibril “Kembalilah dan lihatlah surga.” lalu ia kembali dan melihat kepadanya sedang ia telah dikelilingi dgn hal-hal yg dibenci maka Jibril berkata “Demi kemuliaan dan keagunganMu sungguh aku takutkan tak seorangpun akan memasukinya. Lalu Allah berfirman kepadanya “Pergilah ke neraka dan lihatlah ia sekaligus apa yg Kusediakan utk para penghuninya.” Lalu Jibril datang melihat neraka dan apa yg disediakan utk para penghuni nya. Neraka itu sebagiannya tersusun atas sebagian yg lain ia lalu berkata “Demi kemuliaan dan kebesaranMu tidaklah seseorang mendengar tentang-nya kemudian memasukinya.” Kemudian Allah menyuruhnya lalu neraka itu dikelillingi dgn shahwat lalu Allah berfirman kepada Jibril “Kembali dan lihatlah padanya. ” Kemudian Jibril kembali melihat neraka lalu ia berkata “Demi kemuliaan dan keagunganMu sungguh aku takutkan tak seorangpun akan selamat dari padanya.” Imam Tirmidzi berkata hadits ini adl hasan shahih.
     
    Ibnul Qayyim dalam soal keutamaan melawan hawa nafsu berkomentar “Sesungguhnya melawan hawa nafsu bagi seorang hamba melahirkan suatu kekuatan di badan hati dan lisannya.” Sebagian salaf berkata “Orang yg bisa mengalahkan nafsunya lbh kuat daripada orang yg menaklukkan sebuah kota dgn seorang diri.” Dalam hadits shahih disebutkan “Tidaklah orang yg kuat itu yg menang dalam bergulat tetapi orang yg kuat adl orang yg dapat menguasai hawa nafsunya ketika ia marah.” 

    Semoga Allah menjauhkan kita dari kesalahan dan cinta kepada hawa nafsu. Semoga pula Allah menjadikan kita di antara orang-orang yg takut dan bertakwa kepada-Nya.

    6 komentar:

    Anonim mengatakan...

    aku tertarik sama kepribadian kamu.. mudah - mudahan kamu bisa jadi ayah dari anak -anakku.
    ini nomor telpon aku.

    Anonim mengatakan...

    Like this... Sosok yang patut jadi panutan

    agus soto mengatakan...

    anonim==makasih ya,,,makasih atas pujiannya namun hal ini membuat saya akan semakin tergila-gila dengan dunia,,,saya tidak mau terlena dengan dunia yang sifatnya hanya sementara ini.

    sasuke==contohlah Rasul,,,karena hanya Beliaulah yg pantas menjadi panutan kita

    untuk semuanya,,terima kasih banyak

    Anonim mengatakan...

    wah.....aku hrs mencoba menaklukkan hawa nafsuku(negative) agar dpt mencintai allah sepenuhnya , sungguh perjalannya nanti akan sangat berat.

    Anonim mengatakan...

    LUAR BIAS,,,,,

    Unknown mengatakan...

    Terimakasih

    Posting Komentar

    Ngobrol bo...


    ShoutMix chat widget