• Web
  • psikucluk
  • AddThis

    Share |

    Minggu, 07 Februari 2010

    Kualitas Anak Tergantung Pada Kehamilan Ibu

     
     
    Satu hal yang sangat erat kaitannya dengan tumbuh-kembang anak adalah kualitas ibu. Yang pertama menjadi perhatian adalah status gizi hamilnya. Kenyataan yang cukup memprihatinkan, dari data penelitian di Indonesia, ibu hamil yang mengalami kurang gizi kronis masih di atas 30% atau sekitar 1,5 juta.
     
    Menurut pemberitaan Media Indonesia, ibu hamil tiga bulan pertama yang menderita kekurangan zat besi mencapai 40,5-51% atau 2-2,5 juta ibu. Yang minum tablet zat besi hanya 23,4%, dan sebanyak 12,2% atau sekitar 600.000 ibu hamil tak pernah minum tablet zat besi.
     
    Tak hanya soal gizi. Corak reproduksi dan tidak teraturnya memeriksa kehamilan masih cukup besar. Corak reproduksi meliputi hamil di usia terlalu muda, hamil di usia terlalu tua, jarak kehamilan terlalu rapat atau terlalu sering hamil. Bahkan, ibu hamil yang tak pernah memeriksakan kehamilannya mencapai 1,1 juta orang.
     
    Tak heran, kalau kematian ibu hamil atau melahirkan masih terbilang tinggi. Berdasarkan catatan, 373 dari 100.000 ibu hamil meninggal atau 18.000 setiap tahun ibu hamil meninggal.
     
    Bagaimana pula dengan dampak pada bayi dan anak? Berdasarkan catatan UNICEF dan Depkes, di Indonesia ternyata bayi berusia kurang dari satu bulan meninggal setiap 10 menit, sedangkan bayi usia kurang dari satu tahun 40 bayi meninggal setiap 1.000 kelahiran setiap tahunnya. "Atau, satu bayi usia kurang dari setahun meninggal setiap tiga menit," kata dr Soedjatmiko, SpA, MD, dari Subbagian Tumbuh Kembang-Pediatri Komunitas Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM.
     
    Sedangkan balita meninggal mencapai 56-59 per 1.000 kelahiran hidup. Jadi, setahunnya mencapai 261.000 balita meninggal setiap tahunnya. Dalam sehari meninggal 715 balita, atau 30 balita setiap jam, atau seorang balita meninggal setiap dua menit.
     
    Permasalahan perawatan bayi dan balita masih perlu menjadi perhatian. Bayi yang lahir dengan berat rendah atau kurang dari 2,5 kg jumlahnya 450.000 per tahunnya. Soal perawatan untuk bayi usia lebih dari sebulan juga masih banyak ditemukan yang belum memadai.
     
    Perawatan tali pusat bayi baru lahir saja, masih sekitar 17,7% atau 800.000 bayi masih dilakukan secara tradisional. Bahkan, sekitar 30% bayi yang lahir tak pernah dibawa ke sarana kesehatan. Makanan hari pertama setelah lahir sebanyak 17% diberi pisang, 9,35% air tajin, 3,1% air gula dan madu, sedangkan cara lainnya 9,5%.
     
    Catatan UNICEF juga mengungkapkan bayi yang mengalami gizi buruk mencapai 8% atau sekitar 1,8 juta. Status gizi buruk balita mencapai 34% atau sekitar 7 juta balita, dan status gizi kurang mencapai 26% atau 5,2 juta balita.
     
    Selain itu, masih sering ditemukan anak kekurangan vitamin A. Bahkan balita menderita anemia diperkirakan mencapai 40,5% atau sekitar 9,4 juta balita, sedangkan pada anak SD mencapai 44-70%. Balita kekurangan yodium yang cukup memengaruhi perkembangan kecerdasan masih sekitar 30 juta. Itu terkait dengan angka keluarga yang mengonsumsi garam beryodium baru 62% saja.

    Upaya Pencegahan
    Mestinya, pencegahan gangguan tumbuh-kembang bayi dan balita itu dapat dilakukan sejak dalam kandungan. Namun, itu masih terkait pula dengan kualitas bio (fisik) ibu dan kualitas psikososial secara umum.
    Kualitas bio ibu meliputi usia. "Sebaiknya menikah jangan terlalu muda, tapi juga jangan terlalu tua," ujar Soedjatmiko. Selain itu, jarak kehamilan sebaiknya antara 2-3 tahun. Jumlah anak dianjurkan dua atau tiga anak saja. Gizi ibu hamil yang menjadi asupan harus memenuhi unsur menu seimbang yang terdiri dari karbohidrat, lemak, vitamin, tablet zat besi, yodium. "Kebersihan badan dan lingkungan, pemeriksaan kehamilan secara teratur dan persiapan persalinan yang aman harus menjadi perhatian."
     
    Sedangkan kualitas psikososial yang tak boleh diabaikan terdapat beberapa hal. Pertama, umur suami atau istri sebaiknya lebih dari 20 tahun hingga tak kurang dari 35 tahun. Kedua, pernikahan juga dianjurkan yang direstui keluarga. Ketiga, kehamilan memang diinginkan istri-suami dan keluarga. Keempat, menabung untuk persalinan dan kebutuhan bayi. Kelima, suasana dalam keluarga yang gembira, saling membantu dan menghargai. Keenam, melakukan stimulasi dini dengan merangsang perkembangan janin. Selain faktor intrinsik (bawaan dan genetik), tumbuh-kembang anak juga ditentukan oleh faktor ekstrinsik (lingkungan). Itu dipengaruhi oleh masalah pendidikan dan usia pernikahan kedua orang tua, kedudukan perempuan dalam keluarga, perilaku bersih, dan sanitasi lingkungan. "Faktor ekonomi dan hambatan geografis juga berpengaruh pada tumbuh-kembang anak," ujar Soedjatmiko.
     
    Setelah itu, masalah ASI juga terkadang masih diabaikan. Ada kontradiksi di sini, di mana seorang ibu yang rendah kualitas gizinya pada kalangan bawah justru boleh dikatakan 100% memberi ASI, sementara pada ibu-ibu yang tinggal di kawasan perkotaan yang umumnya dengan kualitas gizi baik, cenderung menggantikan dengan susu formula.
     
    Padahal, seperti diungkapkan spesialis anak dr Utami Roesli, MBA, DHA atau asam lemak pada susu formula tidak bisa disamakan dengan yang terdapat pada ASI, karena berbeda dengan yang terdapat pada ASI, DHA pada susu formula tidak mudah dicerna. Terlebih lagi susu yang dikonsumsi harus dibuat dengan air panas. Padahal dengan pemanasan, enzim desaturase dan elongase yang memfasilitasi pembentukan DHA dalam tubuh secara otomatis hancur.
     
    Mengutip hasil penelitian para pakar Australia, Amerika Serikat, dan Eropa, belum berhasil membuktikan efektivitas penambahan DHA dalam produk susu maupun makanan bayi dan anak-anak bisa membuat otak cerdas. Jadi, belum merupakan anjuran.

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Ngobrol bo...


    ShoutMix chat widget